DDM Perilaku Organisasi



BAB 1
Pengantar perilaku keorganisasian
            Perilaku organisasi merupakan adalah sebuah bidang keahlian khusus yang memiliki pokok ilmu pengetahuan yang umum yang mencakup tiga fktor penentu perilaku dalam organisasi: individu, kelompok, dan struktu; dan penerapannya untuk membuat organisasi bekerj secara lebih efektif.
            Faktor individu mencoba menelaah determinan-determinan yang menentukan perilaku seorang individu di organisasi, meliputi kepribadian, nilai sikap, emosi dan mood, serta motivasi.
            Faktor kelompok meliputi komunikasi, kekuasaan dan politik, dinamika kelompok, konflik dan negosiasi, serta kepemimpinan.
            Faktor organisasi meliputi kultur organisasi (organizational culture), praktik dan kebijakan manajemen sumber daya manusia, dan perubahan organisasi dan manajemen stres.
            Perilaku organisasi merupakan ebuah bidang kajian yang didukung oleh berbagai macam bidang ilmu, seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, dan antropologi.
Variabel di Dalam Perilaku Organisasi
Sebagai sebuah bidang kajian, perilaku organisasi merupakan sebuah lahan yang kaya untuk digali dan diselidiki. Hal-hal yang coba diselidiki di dalam perilaku organisasi adalah: produktivitas, absensi, turnover, kepuasan kerja, organizational citizenship behavior dan perilaku devian (menyimpang). Para peneliti mencoba mencari tahu penyebab hal-hal tersebut diatas sehingga kemudian di dalam kajian perilaku organisasi di sebut sebagai variabel dependen, yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lain sehingga keberadaannya tidak berdiri sendiri.
Oleh karena variabel dependen tidak dapat berdiri sendiri, tentulah ia dipengaruhi oleh variabel lain yang disebut variabel independen, yaitu variabel yang menentukan nilai dan besaran dari variabel dependen. Sifat variabel independen adalah memengaruhi variabel dependen, yang artinya variabel independen ini merupakan determinan dari variabel dependen.
Di dalam perilaku organisasi, variabel independennya tidak lain adalah tiga faktor penentu perilaku, yaitu faktor individu seperti kepribadian dan motivasi, faktor kelompok seperti komunikasi dan politik, serta faktor organisasi seperti kultur organisasi. 
Kaitan Manajemen dengan Perilaku Organisasi
            Secara umum, manajemen bisa diartikan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan segala sumber daya yang ada, dan terutama dengan pendayagunaan sumber daya manusia. Secara umum, fungsi manajemen terdiri dari:
·         Fungsi perencanaan (planing). Meliputi pendefinisian tujuan organisasi, menetapkan sasaran-sasaran yang hendak dicapai organisasi, dan melakukan pengembangan rencana stategi organisasi. Perencanaan dalam organisasi harus dikomunikasikan kepada seluruh anggota organisasi supaya setiap anggota dapat memahami rencana dan tujuan yang hendak dicapai sehingga organisasi akan terarah dalam melakukan segala aktivitas.
·         Fungsi pengorganisasian (organizing). Fungsi pengorganisasian pada intinya adalah proses pengaturan karyawan dan sumber daya-sumber daya lainnya guna mendukung proses pencapaian rencana strategis dan tujuan perusahaan. Proses pengorganisasian meliputi kegiatan penempatan tugas-tugas, pengelompokan tugas-tugas, penetapan sistem pengambilan keputusan.
·         Fungsi kepemimpinan (leading/directing). Secara singkat fungsi kepemimpinan adalah fungsi manajemen yang bertujuan untuk memengaruhi kebiasaan-kebiasaan orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Termasuk dalam fungsi ini adalah sikap pimpinan sebagai panutan terhadp bawahan, pemotivasian karyawan, pemilihan saluran komunikasi yang efektif, dan proses pemecahan konflik.
·         Fungsi pengawasan (controlling). Fungsi ini adalah proses pemantauan segala aktivitas di dalam organisasi guna memastikan bahwa seluruh aktivitas tersebut telah berjalan sesuai rencana. Apabila aktivitas tersebut menyimpang dari rencana, maka pengawasasn juga berfungsi sebagai koreksi sehingga aktivitas tersebut kembali dilakukan sesuai rencana dan tidak melenceng. Dengan pengawasan, kinerja organisasi bisa dimonitor dan dievaluasi.
Selain fungsi-fungsi manajemen, untuk memastikan sebuah organisasi berhasil atau tidak maka dibutuhkan peran seorang manajer. Seorang manajer mempunyai andil yang besar dalam menentukan arah kesuksesan sebuah organisasi.
Idealnya seorang manajer memiliki peran interpersonal (interpersonal role), peran informasional (informational role), dan peran pembuat keputusan (decision making role). Peran interpersonal dalam diri manajer meliputi peran sebagai figur pemimpin yang mampu menghadapi berbagai situasi dan mampu memotivasi bawahannya untuk berkinerja dengan baik, serta peran penghubung antara internal organisasi dengan pihak-pihak di luar organisasi.
Sedangkan peran pembuat keputusan diartikan bahwa seorang manajer harus mampu menentukan keputusan yang harus di ambil di antara berbagai macam alternatif pilihan yang tersedia. Sebagai seorang pembuat keputusan, manajer juga berperan sebagai seorang negosiator, penyelesaian masalah, dan pembagi sumberdaya di antara bagian-bagian di dalam organisasi.
Seorang manajer harus memiliki keahlian teknis (techincal skill), yaitu keahlian yang berhubungan dengan kemampuan menerapkan pengetahuan ke dalam proses praktis. Selain itu juga keahlian interpersonal (interpersonal skill) yang merupakan keahlian untuk berhubungan dengan orang lain, meliputi kemampuan bekerja sama, berkomunkasi, memahami orang lin, memotivasi, dan menyelesaikan konflik.
Keahlian yang terakhir adalah keahlian konseptual (conceptual skill), yaitu kemampuan berpikir secara abstrak, terutama dalam menganalisi suatu situasi yang kompleks, tidak terstruktur, dan memerlukan keahlian untuk mengolah informasi yang tersebar menjadi informasi yang berguna dalam membantu proses pengambilan keputusan.
Fungsi-fungsi manajemen, peran manajer, dan keahlian manajemen tidak akan berguna apabila tidak diiringi dengan kemampuan dasar untuk memahami perilaku individu di dalam organisasi.

           
BAB II
Fondasi Perilaku Individu, Sikap, dan Kepuasan Kerja
Fondasi Perilaku Organisasi
          Manusia adalah makhluk yang unik. Setiap individu berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini akan menyebabkan individu-individu pun berperilaku tidak seragam. Mungkin seorang individu akan berperilaku menyebalkan sementara individu yang lain berperilaku ramah.
            Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seorang individu, terutama perilaku individu di dalam sebuah organisasi:
1.      Karakteristik Biografi (biographical characteristic)
Karakteristik biografi adalah karakter-karakter personal yang melekat di diri seorang individu seperti usia, gender, dan status pernikahan.
2.      Kemampuan (ability)
Kemampuan adalah kapasitas yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, terdiri dari kemampuan intelektual (IQ) dan kemampuan fisik.
3.      Pembelajaran (learning)
Perilaku individu tidak muncul secara tiba-tiba. Seorang bayi tidak langsung tahu cara melakukan sesuatu tanpa diajari terlebi dahulu oleh orang tuanya. Oleh sebab itu pembelajaran kemudian menjadi salah satu faktor yang menentukan perilaku seorang individu.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang proses pembelajaran. Teori pertama adalah teori classical conditioning. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan memberikan tanggapan terhadap sebuah stimulus tertentu karena belajar, padahal sebelumnya individu tersebut tidak memberikan respon apa-apa terhadap stimulus tersebut.
Teori operant conditioning menjelaskan bahwa individu akan berperilaku dengan mempertimbangkan akibat-akibat yang akan ditimbulkan apabila perilaku tersebut ditampilkan oleh individu. Seorang berperilaku tertentu untuk menuju pada perolehan ganjaran (reward) dan untuk menghindari suatu hukuman (punishment).
Teori pembelajaran sosial (social learning)menjelaskan bahwa seorang individu akan mempelajari perilaku orang lain untuk kemudian dia tiru. Individu belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Di sini faktor-faktor lingkungan sangat kuat memengaruhi perilaku individu.
Sikap (attitude)
            Sikap atau attitude diartikan sebagai pernyataan evaluatif atau penilaian terhadap sesuatu objek, orang atau peristiwa. Sikap (attitude) berbeda dengan perilaku (behavior). Sikap masih berupa penilaian abstrak. Robbins dan Judge (2009) mengungkapkan ada tiga komponen yang membangun sikap atau attitude yaitu:
a.      Komponen Kognitif (Cognitive Component), komponen ini merupakan komponen inti dari sikap (attitide) yang berupa penjelasan atau kepercayaan (belief) tentang suatu hal.
b.      Komponen Afektif (Affective Component), merupakan komponen sikap (attitude) yang bersifat emosional atau bagaimana seseorang merasakan sesuatu hal. Seperti apakah ia merasa senang senang atau merasa tidak senang.
c.       Komponen Perilaku (Behavioral  Component), yaitu intensi untuk berperilaku tertentu terhadap seseorang atau suatu hal yang didasarkan pada keyakinan (kognitif) dan perasaan (afektif) yang dimiliki individu terhadap seseorang suatu hal tersebut.
Tiga komponen sikap tersebut memberikan pemahaman bahwa sikap individu dibentuk oleh kognisi dalam menggunakan rasio yang dikombinasikan dengan kekuatan emosi yang akan mendorong seseorang individu untuk menunjukkan perilaku tertentu.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sikap bisa menjadi prediktor bagi perilaku. Kita bisa memprediksikan kira-kira perilaku apa yang akan itunjukkan oleh seorang individu dengan mengetahui sikap yang dianutnya. Tetapi ada kalanya, muncul ketidaksesuaian antar sikap yang dianut dan perilaku yang ditampilkan, sehingga menimbulkan kondisi yang disebut sebagai cognitive dissonance.
Cognitive dissonance adalah suatu kondisi ketika terjadi ketidaksamaan antara sikap dan perilaku. Artinya perilaku yang ditampilkan individu tidak sesuai dengan sikap yang dianutnya.
Tetapi ada kalanya sikap baru terciptasetelah kita menampilkan perilaku tertentu. Di sini perilaku muncul terlebih dahulu baru kemudian sikap yang digunakan sebagai pengesahan terhadap perilaku yang telah dilakukan. Misalkan, seorang mahasiswa berbuat curang dengan berperilaku mencontek ketika ujian karena tidak belajar, berperilakunya tersebut kemudian disahkan oleh sikap yang muncu belakangan, misal mencontek,karena kepepet bukan perbuatan tercela. Kondisi ini disebut sebagai self perception theory yaitu sikap (attitude) digunakan justru untuk menjustifikasi perilaku (behavior) yan telah dilakukan.
Di dalam perilaku organisasi, terdapat tiga jenis sikap yang sering dipelajari dan diteliti yaitu: kepuasan kerja (job satisfaction) yang merujuk pada sikap seseorang terhadap pekerjaannya, keterlibatan kerja (job involvement)yang merupakan ukuran sejauh mana seseorang secara psikologis memihak pekerjaannya dan menggunakan pekerjaannya sebagai ukuran harga diri, dan komitmen organisasi (organizational commitment) yang merupakan sikap sejauh mana seorang individu berniat memelihara keanggotaan di dalam sebuah organisasi.
Kepuasan Kerja (job satisfaction)
          Seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki sikap (attitude) yang positif terhadap pekerjaannya. Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak puas (kepuasan kerjanya rendah) akan memiliki sikap (attitude) yan negatif terhadap pekerjaannya.
            Kepuasan kerja seseorang biasanya diukur dengan menggunakan pendekatan summation score. Pendekatan ini mencoba mengukur kepuasan kerja seorang individudilihat dari enam elemen kunci pekerjaan yaitu: pekerjaan saat ini (nature of current job), atasan atau penyelia (supervisor), teman sekerja (coworkers), gaji yang diperoleh, kesempatan promosi dan pekerjaan secara umum.
            Kepuasan kerja ini, menurut robbins, memiliki pengaruh dan dampak-dampak terhadap tingkat produktivitas, tingkat absensi dan tingkat turnover.
            Hasil penelitian mengungkapkan bahwa organisasi dengan karyawan yang merasa puas akan lebih efektif dibandingkan dengan organisasi di mana karyawannya memiliki kepuasan kerja yang rendah. Begitu pula dengan tingkat absensi pekerja yang memiliki kepuasan kerja yang rendah akan memiliki tingkat absensi yang tinggi. Selain itu kepuasan kerja juga memberikn dampak terhadap tingkat turnover meskipun pengaruh ini hanya berlaku bagi pekerja dengan kinerja yang rendah (poor poor performance) dan tidak terlalu memberikan dampak terhadap pekerja dengan kinerja yang bagus (superior performance).
Determinan Kepuasan Kerja
1)      Lingkungan Kerja
Merupakan faktor yang berkaitan dengan hubungan antara seseorang dengan rekan kerjanya maupun atasannya, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. Seseorang menginginkan lingkungan kerja yang nyaman untuk memudahkan mereka dalam mengerjakan tugasnya. Studi-studi mengemukakan bahwa seseorang lebih menyukai keadaan fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. 
2)      Atasan/Gaya Kepemimpinan
Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan kerja. Atasan kerja yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Tingkat kepuasan kerja yang peling besar dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan bersifat positif. Misalnya atasan yang menghargai pendapat, ide-ide, dan saran karyawan sehingga dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja mereka.
3)      Sifat Pekerjaan (job content) dan Aktivitas Kerja
Menikmati pekerjaan itu sendiri hampir selalu merupakan segi yang paling berkaitan erat dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi secara keseluruhan. Pekerjaan menarik yang memberikan pelatihan, variasi, kemerdekaan, dan kendali dapat memuaskan sebagian besar individu. Dengan kata lain, seorang individu lebih menyukai pekerjaan yang menantang dan mengembangkan semangat kerja dari pada pekerjaan yang dapat diramalkan dan rutin.
4)      Benefit
Benefit, dalam hal ini adalah manfaat atau keuntungan yang didapat seseorang saat menjadi anggota suatu organisasi, berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Ketika seseorang menganggap bahwa dengan mengikuti organisasi tersebut akan mendatangkan banyak manfaat bagi dirinya, maka kepuasan kerja mereka akan meningkat.
Respon Terhadap ketidak Puasan Kerja (job disstisfaction)
Ada beberapa respon yang diberikan oleh individu apabila ia merasakan ketidakpuasan kerjanya.
a.    Individu memutuskan untuk keluar dari organisasi (exit).
b.    Mencoba memperbaiki keadaan di dalam organisasi (voice)
c.    Secara pasif menunggu perubahan kondisi organisasi (loyalty)
d.    Mengabaikan kondisi yang ada di dalam organisasi (neglect).
BAB III
Kepribadian, Nilai, Persepsi, dan Pengambilan Keputusan Individu
Kepribadian (personality)
Kepribadian adalah sekumpulan cara bagaimana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian merupakan determinan paling penting bagi individu, karena kepribadian menentukan bagaimana seorang individu berpikir, berperilaku dan berperasa dalam berbagai macam situasi yang berbeda-beda.
Ada beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap kepribadian seseorang yaitu:
·         Turunan (heredity). Faktor ini menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan keturunan, seperti bentuk fisik,turunan biologis, dan turunan psikologis.
·         Lingkungan (environment). Faktor ini meliputi budaya tempat kita dibesarkan, norma-norma keluarga, norma masyarakat, agama, dan kondisi sosial.
·         Situasi (situation). Pada situasi yang berbeda orang akan cenderung menampilkan aspek kepribadian yang berbeda pula.
Beberapa ilmuan mencoba mengklasifikasikan kepribadian ke dalam pola-pola tertentu. Dua teori yang paling populer yang mencoba mengklasifikasikan kepribadian adalah The Myers-Briggs type Indicator dan The Big Five Model.
The Myers-Briggs Type Indicator mengklasifikasikan kepribadian ke dalam empat kriterian berlawanan yang akan membentuk enam belas pola kepribadia. Empat kriteria tersebut adalah:
The Big Five Model menjelaskan ada lima dimensiyang mendasari kepribadian manusia. Lima dimensi tersebut adalah:
·      Extroversion adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang asertif.
·      Agreeblenes adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang kooperatif dan dapat dipercaya.
·      Conscientiousness adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan orang yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan teratur rapi.
·      Emosional stability adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan ketahanan seseorang terhadap tekanan atau stres.
·      Openes to experience adalah dimensi kepribadian yang mendeskripsikan seseorang sebagai orang yang sensitif, imajinatif,dan penuh rasa ingin tahu.
Selain itu, individu juga sering digolongkan ke dalam dua tipe kepribadian, yaitu tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B. Tipe kepribadian A mempunyai cri-ciri selalu bergerak dan bekerja cepat, tidk menyukai kesantaian, suka mengerjakn beberapa pekerjaan sekaligus, dan menyukai obsesi untuk selalu sukses dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya sedangkan orang dengan tipe kepribadian B dicirikan sebagai seorang yang tidak terburu-buru, rileks, dan santai dalam bekerja.
Dalam kepribadian ada komponen yang disebut sebgai self esteem, yaitu sejauh ana seorang individu menyukai dirinya sendiri. Selain itu ada juga Locus of Control yang adalah seberapa yakin bahwa seorng individu dapat mengontrol kehidupannya sendiri. Orang dengan lokus konrol internal percaya bahwa dirinya adalh budak takdir, ia tidak berkuasa atas kehidupannya sendiri.
Komponen lain adalah machiavellianism yaitu bagaimana cara seseorang memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Orang yang memiliki tingkat machiavellianism yang tinggi akan bersifat pragmatis, dapat mengendalikan emosinya, dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dirinya. Ada juga komponen self monitoring yaitu sejauh mana individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya serta komponen risk taking yaitu sejauh mana seorang individu berani mengambil resiko. Orang yang mempunyai keberanian besar dalam mengambil resiko disebut sebagai risk taker sedangkan seseorang yang cenderung menghindari resiko disebut sebagai risk averter.
Nilai (values)
            Nilai adalah keyakinan dasar akan segala sesuatu yang dianggap baik dan benar. Robbins dan Judge (2009) membagi nilai menjadi nilai instrumental (instrumental value) dan nilai terminal (terminal value).
            Nilai-nilai instrumental adalah nilai-nilai yang dianut dalam berperilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sementara nilai terminal adalah nilai-nilai dari suatu tujuan yang dianggap baik dan ingin dicapai.
            Nilai akan berbeda-beda pada diri setiap individu, tetapi Hofstede mempunyai sebuah kerangka umum yang menyatakan bahwa nilai itu bisa dilihat dari lima dimensi yang terdapat di hampir semua masyarakat di dunia. Lima dimensi tersebut adalah:
·         Rentang kekuasaan (power distance), yaitu sejauh mana sebuah masyarakat menerima bahwa kekuasaan itu tidak merata. Masyarakat dengan rentang kekuasaan tinggi cenderung (high power distance) memiliki rentang yang lebar yaitu seseorang bisa sangat berkuasa dan orang lain bisa sangat tidak berkuasa. Sementara masyarakat dengan rentang kekuasaan rendah (low power distace) memiliki rentang kekuasaan yang kurang lebih sama.
·         Individualisme (individualism) dan kolektivisme (collectivism). Individualisme berarti bahwa seorang individu lebih memilih untuk bertindak sendiri dibandingkan dengan bertindak secara bersama-sama. Sedangkan kolektivisme merupakan kebalikannya.
·         Maskulinitas (masculinity) dan Feminitas (feminity). Maskulinitas berarti masyarakat memberikan penilaian lebih terhadap kekuasaan, kontrol, dan prestasi serta memberikan penghargaan yang tinggi terhadap materi. Maskulinitas dengan jelas membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan feminitas adalah kondisi masyarakat yang lebih menghargai persamaan antara laki-laki dan perempuan.
·         Penghindaran terhadap ketidakpastian (uncertainty avoidance), sejauh kondisi sejauh mana masyarakat merasa terancam oleh adanya ketidakpastian.
·         Orientasi jangka pendek dan jangka panjang (short term orientation and long trm orientation) yaitu suatu kondisi apakah masyarakat lebih menghargai masa kini atau masa depan.
Persepsi
            Menurut Robbins dan Judge (2009),persepsi (perception) diartikan sebagai cara individu menganalisis dan mengartikan pengamatan indrawi mereka dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungan sekitar mereka. Seorang individu akan memandang segala sesuatu dengan persepsi mereka sendiri yang mungkin saja berbeda dengan persepsi orang lain.
            Ada beberapa faktor yang dianggap memengaruhi pembentukan persepsi seseorang yaitu:
·         Faktor penerimaan persepsi (reciver), berupa sikap individu, kesukaan, motif individu, pengalaman, dan pengharapan.
·         Faktor target yang dipersepsikan, berupa suara, ukuran, gerakan, latar belakang, dan kesamaan.
·         Faktor situasi, berupa waktu, tempat, dan kondisi sosial ketika proses menganalisis terjadi.
Salah satu teori yang mencoba menjelaskan mengapa persepsi manusia berbeda-beda terhadap suatu hal adalah teori atribusi (attribution theory). Teori ini menjelaskan ketika seorang individu mengamati sebuah perilaku, mereka mencoba menentukan apakah perilaku tersebut disebabkan oleh internal diri si individu ataukah disebabkan oleh faktor eksternal. Dari sinilah kemudian seseorang mendasarkan penilaian terhadap perilaku individu.
Cara-cara Menilai Orang Lain
            Ketika kita menilai orang lain, maka kita mendasarkan penilaian kita tersebut berdasarkan persepsi kita sendiri. Persepsi yang kita dapatkan itu berasal dari informasi yang kita peroleh dari pengamatan indrawi. Informasi yang diperoleh dari pengamatan indrawi kemudian kita tafsirkan sehingga artinya keluarlah suatu penilaian terhadap orang tersebut.
            Beberapa jalan pintas yang biasa digunakan untuk melakukan penilaian adalah:
·         Persepsi selektif (selective perception), terjadi ketika seorang individu menafsirkan apa yang mereka amati berdasarkan kesukaan, latar belakang, pengalaman, dan sikap yang mereka miliki.
·         Efek Halo (halo effect), terjadi ketika penilaian terhadap seorang individu dipengaruhi oleh perbandingan terhadap orang lain yang memiliki skor penilaian yang lebih tinggi, sehingga penilaian yang kita berikan menjadi tidak objektif.
·         Proyeksi (projection), terjadi ketika penilaian terhadap seorang ndividu dipengaruhi oleh perbandingan terhadap orang lain yang memiliki skor penilaian yang lwbih tinggi, sehingga penilaian yang kita berikan menjadi tidak objektif.
·         Stereotipe (stereotyping), terjadi ketika penilaian yang kita berikan didasarkan pada kelompok tempat orang tersebut, bukan didasarkan pada individunya sendiri.
Di dalam organisasi, proses penilaian terhadap orang lain terdapat dalam banyak aktivitas organisasi. Proses penilaian yang objektif sangat penting untuk dilakukan terutama dalam proses perekrutan karyawan baru dan penilaian kinerja. Jalan pintas dalam melakukan penilaian hendaknya dihindari agar keputusan yng diambil bisa objektif dan tidak bias.
Beberapa cara bisa dilakukan untuk menghindari bias dan distorsi dalam proses penilaian, diantaranya:
·         Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin sebelum menilai. Pengumpulan informasi yang banyak berguna untuk mendapatkan persepsi yang lebih realistis.
·         Memeriksa simpulan yang diperoleh. Hal ini berguna untuk meyakinkan apakah penilaian yang kita buat telah memperhitungkan semua informasi yang ada secara berimbang ataukah belum.
·         Mampu membedakan antara fakta dan asumsi. Seringkali dalam melakukan penilaian kita lebih sering menggunakan asumsi pribadi alih-alih menggunakan fakta yang nyata. Sehingga akhirnya penilaian yang dibuat pun menjadi tidak objektif, bias, dan tidak akurat.
·         Lakukan penilaian dengan mempertimbangkan semua aspek penilaian dengan bobot yang berimbang. Hindarkan menilai sesuatu hanya dari satu aspek saja.
·         Jangan pernah menganggap bahwa orang lain memiliki standar yang sama dengan kita. Gunakanlah standar baku yang umum dipakai, bukan standar pribadi yang akan menyebabkan penilaian menjadi kurang tepat.
Pengambilan Keputusan Individu
Menurut Driscoll (1978), partisipasi dalam mengambil keputusan berhubungan dengan efficacy. Efficacy sendiri didefinisikan sebagai perasaan atau anggapan bahwa seseorang mampu untuk memengaruhi pembuatan keputusan dalam organisasi.
            Robbins dan Judge (2009) menghubungkan proses pengambilan keputusan dengan persepsi. Begitu pula dalam hal partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan efficacy yang tak lain merupakan persepsi seseorang akan dirinya sendiri.
Proses Pengambilan Keputusan
                Sebagian besar proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor persepsi. Selain itu, proses pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh penafsiran dan evaluasi terhadap informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.
            Ada beberapa cara yang biasa digunakan oleh seorang individu ketika mengambil keputusan, diantaranya:
  1. pengambilan keputusan rasional, proses pengambilan keputusan ini adalah dengan cara memilih alternatif terbaik dengan mempertimbangkan semua hambatan yang ada. Pengambilan keputusan rasional terdiri dari langkah-langkah yang trstruktur mulai dari pendefinisian masalah, pengidentifikasian kriteria keputusan, pengalokasian bobot untuk menentukan skala prioritas, membangun alternatif, serta mengevaluassi setiap alternatif yang tersedia.
  2. bounded Rationality, proses pengambilan keputusan ini menggunakan proses simplifikasi, artinya permasalahan coba direduksi kedalam model yang sederhana dengan mengabaikan kompleksitas yang melingkupinya.
  3. intuisi, proses pengambilan keputusan ini tidak didasarkan pada informasi-informasi yang tersedia, tetapi semata-mata mengndalkan intuisi pribadi.











BAB IV
Konsep-konsep Motivasi
Devinisi Motivasi
            Motivasi (motivation) memiliki definisi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan kekuatan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dari motivasi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. Arah berhubungan dengan pengitan upaya kepada arah dan tujuan yang menguntungkan organisasi, dan mempertimbangkan kulitas serta intensitas upaya secara bersamaan. Ketekunan merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang bisa mempertahankan usahanya.
            Konsep motivasi telah berusaha dikembangkan oleh banyak orang, dan beberapa teori yang paling terkenal mengenai motivasi antara lain teori hearki keebutuhan, teori X dan teori Y, teori dua penentuan tujuan, teori MBO, teori efektivitas diri, teori penguatan, teori keadilan, dan teori harapan.
Elemen Kunci Motivasi
            Berkaitan dengan definisi motivasi yang telah disebutkan diatas, berikut adalah elemen-elemen kunci dalam motivasi:
·         Intensitas (intensity)
Fokus kepada seberapa besar atau kerasa usaha seseorang untuk mencoba mencapai sesuatu dalam hidupnya.
·         Arahan (direction)
Usaha yang sudah ada dan sudah dilakukan, diharapkan ke suatu tujuan, misalnya tujuan organisasi.
·         Kegigihan (persistence)
Elemen ini fokus kepada seberapa lama seseorang dapat mempertahankan upaya atau usahanya.
Teori-teori Awal
1.      Teori Hierarki Kkebutuhan Abraham Maslow
Teori kebutuhan Maslo digambarkan dengan piramida kebutuhan, dimana kebutuhan yang terletak pada tingkatan yang paling bawah, merupakan kebutuhan yang paling dasar yang harus terlebih dahulu terpenuhi. Sedangkan kebutuhan yang terletak pada tingkatan yang paling atas, merupakan pencapaian kebutuhan yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh masing-masing individu. Berikut merupakan piramida kebutuhan Maslow
a.      Kebutuhan psikologis: merupakan kebutuhan yang paling dasar. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk sandang, pangan, papan, seks, dan pemenuhan kebutuhan untuk badan lainnya.
b.      Kebutuhan keamanan: meliputi kebutuhan rasa aman dan perlindungan bagi fisik dan emosinya, misalnya kebutuhan akan rasa aman di tempat kerjanya.
c.       Kebutuhan sosial: kebutuhan untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain di lingkungan sekitarnya, kebutuhan untuk mendapat kasih sayang, perasaan diterima dalam lingkungannya.
d.      Kebutuhan akan penghargaan: kebutuhan penghargaan ini meliputi kepercayaan diri, pengakuan, harga diri, dan lain sebagainya.
e.      Kebutuhan pengaktualisasian diri: kebutuhan ini merupakan pencapaian kebutuhan yang paling tinggi.
2.      Teori X dan Teori Y
Teori X dan Teori Y dikemukakan oleh Doglas McGregor. Dia melabeli pandangan akan manusia menjadi yang bersifat negatif yaitu teori X dan yang bersifat positif yaitu teori Y.
Teori X mengasumsikan bahwa karyawan itu tidak suka bekerja, pemalas, tidak bertanggung jawab, dan harus diarahkan akan kinerja baik. Sementara Teori Y mengasumsikan bahwa pekerja itu menyukai pekerjaan mereka, seorang yang kreatif, mampu mengemban tanggung jawab, dan bisa mengatur dirinya sendiri tanpa perlu diarahkan agar berkinerja dengan baik.
3.      Teori Dua Faktor (Motivator-Hygiene Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg, ia menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh dua kelompok situasi, yaitu situasi yang memberikan kepuasan kerja (satisfiers/motivator) dan situasi yang tidak memberikan kepuasan kerja (dissatisfiers/hygiene).
Herzberg mengutarakan dua dimensi yaitu: dimensi kepuasan dan dimensi ketidak puasan. Ketika kebutuhan motivator terpenuhi maka pegawai akan puas, sebaliknya apabila kebutuhan motivator tidak terpenuhi maka pegawai tidak akan puas.
Sementara saat kebutuhan hygiene terpenuhi, maka pegawai tidak akan puas, pun sebaliknya apabila kebutuhan hygiene tidak terpenuhi maka pegawai tidak akan puas.
Teori-teori Motivator Kontemporer
1.      Teori ERG
Teori ini berfokus pada tiga kelompok kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan terhadap keberadaan diri (existence), kebutuhan akan keterkaitan dengan rang lain (relatedness), dan kebutuhan akan perkembangan diri (growth).
Kebutuhan akan keberadaan diri adalahkebutuhan fisiologis dan material seperti  kebutuhan akan minuman, makanan, pakain, dan tempat tinggal serta kebutuhan akan rasa aman. Di dalam orgnisasi, kebutuhan ini mencakup upah, situasi kerja, jaminan sosial dan lain sebgainya.
Kebutuhan akan keterkaitan dengan orang lalin meliputi semua kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasaan hubungan antarpribadi. Sedangkan kebutuhan akan perkembangan diri meliputi kebutuhan akan pengembangan potensi seorang individu.
2.      Teori Keadilan (equity theory)
Seseorang akan merasa puas atau tidak tergantung dari apakah dia mersakan adanya keadilan atau tidak atas situasi keadilan atau tidak atas suatu situasi. Teori ini menekankan bahwa faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi individu atas keadilan dari penghargaan yang diterima. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang setara, sekantor, maupun di tempat lain. Elemen teori ini meliputi input, outcome, dan comparison person.
Input adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan oleh seseorang sebagai sumbangan terhadap suatu pekerjaan. Outcome mengandung pengertian sebagai segala sesuatu yang dirasakan oleh seseorang sebagai hasil dari pekerjaannya. Sedangkan comparison person menjelaskan dengan siapa seseorang membandingkan antara input yang diberikan dengan outcome yang diperolehnya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh seseorang ketik ia merasa bahwa ketidakadilan, yaitu:
·         Mengubah input menjadi lebih besar apabila overpayment inequity atau menjadi lebih kecil apabila under payment inquity.
·         Mencoba mengubah input rekan kerjanya.
·         Mengubah persepsi tentang besaran input yang diberikan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh rekan sekerjanya.
·         Mengganti comparison person yang selama ini di jadikan patokan pngukuran keadilan.
·         Keluar dari organisasi.
3.      Teori Kebutuhan McClelland
David McClelland menyatakan bahwa ada tiga macam kebutuhan yag membantu menjelaskan motivasi seseorang.
·         Need for Achievement
·         Need for Power
·         Need for Affiliation
4.      Teori Evaluasi Kognitif
Teori in mengatakan bahwa memberikan penhargaan ekstrinsik akan menghilangkan motivasi intrinsik. Artinya apabla seseorang mengerjakan seseuatu karena ia menyukainya dan kemudian diberi reward maka lama kelamaan motivasinya kan bergeser. Pada akhirnya motivasi seseorang mengerjakan sesuatu hal bukan karena ia menyukainya tapi karena mengharapkan imbalan yang akan di perolehnya karena mengerjakan hal tersebut.
5.      Teori Goal Setting
Teori ini menjelaskan bahwa agar seseorang bekinerja dengan baik maka diperlukan penentuan sasaran keberhasilan berupa target-target yang spesifik disertai dengan umpan balik di setip tahapan pekerjaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 FAKTA FIVE MINUTES

Meresume Profesi Pendidikan

STRUKTURAL GENETIK